Ceruk Waktu

Ramadan : Apa yang berlalu tak bisa diubah, apa yang akan terjadi tak selalu selalu sama dengan prediksi.

Vatqi Nur Rohman
4 min readMar 13, 2024
Lima Menit setelah Menyelesaikan Tulisan ini.

Waktu terus bergerak maju. Perlahan namun pasti. Pelan namun tegas. Sayangnya konsep ini, sepertinya, hanya dimiliki oleh manusia. Pohon jati tidak punya konsep waktu, kucing hanya paham mengeong dan makan, lalat hanya mencari tumpukan sampah, bonsai hanya tau menumbuhkan daun dan bunga, aspal hanya tau saatnya panas, basah ataupun tergerus, cat hanya tau pudar dan luntur, tembok hanya mengenal retak dan dan roboh.

Manusia-manusia lah satu-satunya makhluk yang menciptakan waktu. Tik tak tuk, detik bergerak. Hari berganti. Bulan berubah. Tahun menjelma. Dalam konsep waktu, manusia mengenal yang lalu, yang akan terjadi, dan yang kini dijalani. Waktu membedakan semua itu. Sesuatu yang lalu tidak akan bisa diulang kembali, yang akan terjadi tak selalu sesuai prediksi. Sementara yang kini dijalani, terkadang terlupakan secara terang-terangan oleh apa yang lalu dan yang akan terjadi.

Sama sepertiku yang masih saja merindukan Mbah Kakung dengan segala bentuk tubuhnya, aromanya, kebiasaan-kebiasaannya. Beberapa bulan terakhir berkurang memang, namun bukan berarti aku ingat dengan yang kini kujalani. Justru berkurangnya kerinduanku tertutupi dengan ketakutanku atas apa yang akan terjadi.

Kuperhatikan umurku, umur bapak dan ibu, lalu aku menengok pada diri yang belum menjadi apa-apa. Hal ini diperparah dengan jatuh cinta, sialan memang. Jatuh cinta membuat manusia terkadang lupa dengan apa yang tersusun dan terencana kedepan. Bodoh dan buta. Dua kondisi yang mampu mengambarkan jatuh cinta.

Dengan apa yang pernah kupelajari dan bapak ajarkan padaku, menikah bukan perkara mudah. Sebagai laki-laki yang meminang dan memperistri seorang gadis yang dibesarkan dengan baik oleh ayahnya, aku tidak bisa sembarangan. Kondisi yang kujalani kali ini tidak baik, belum baik lebih tepatnya. Jatuh cinta membawa semangat tersendiri dalam menjalani hidup, namun juga berarti memberikan tanggung jawab yang lebih terhadap sosok yang dicintai. Tanggung jawab lebih ini lah yang membawaku mempertanyakan :

Apa yang ada di depan nanti? Apakah aku bisa membahagiakannya? Apakah aku bisa menjamin hidupnya? Kapan aku bisa benar-benar bertanggung jawab dengan perasaan ini? Perasaannya?’

Sebelum jatuh cinta, konsep waktu memang masih membebaniku dengan kenangan menyedihkan akibat duka ditinggalkan Mbah Kakung. Semasa awal jatuh cinta, aku mulai bisa menikmati waktu saat ini, kini dan yang sedang kujalani. Hari-hari terasa menyenangkan, perasaan kian membumbung tinggi, harapan dan juga doa-doa mulai dipanjatkan.

Sayangnya, waktu berjalan begitu cepat. Satu dua hari berlalu, satu dua bulan berjalan, perasaan cinta dan harapan semakin terpupuk tinggi dan mulai terlihat menakutkan. Aku mulai mempertanyakan umur, mulai mempertanyakan pertanggung jawabanku, mulai bertanya tentang masa depanku, mulai membuat skenario-skenario yang mencekik dan menikam secara perlahan.

Waktu saat ini mulai tidak bisa kukenali, aku tenggelam dalam dekapan apa yang akan. Menyesakkan dan sulit untuk di atasi. Kata teman-teman, hal ini memang terjadi kepada mereka pula. Ancen wes umure, begitu kata mereka.

Sebagai manusia yang seringkali berselisih paham dengan waktu, umur dan angka-angka yang mengikatnya, aku tidak akan terima dengan hal ini. Alasan umur tidak seharusnya keluar dari mulut manusia yang berprinsip bahwa hidup adalah pilihan dan takdir Tuhan tidak seluruhnya mutlak. Tuhan tetap Maha Adil, oleh sebab itu Ia menciptakan pikiran agar manusia mampu menentukan pilihannya sendiri entah atas dasar logika pasti atau sekedar intuisi.

Jika keadaan sudah rumit semacam itu, aku mengambil jarak. Membuat ceruk antara aku dengan waktu demi memisahkan apa yang akan datang dan tak sama prediksi, apa yang sudah berlalu dan tak bisa kuubah dan apa yang sedang kujalani.

Ceruk itu mungkin akan terisi dengan kehampaan, permenungan, tatapan kosong dan yang paling pasti hilangnya orang-orang disekelilingku atau setidaknya berselisih paham. Jujur saja, ceruk ini bukan pertama kali muncul dalam hidupku. Sudah berkali-kali dan aku paham betul apa konsekuensi yang akan menimpaku. Bisa jadi aku akan menyakiti perasan seseorang, membuat beberapa orang kecewa. Namun yang jelas, ceruk ini juga akan memisahkan sesiapa saja manusia yang benar-benar mampu menerima segala bentuk wujudku sebagai manusia seutuhnya.

Aku telah berhasil membuat ceruk waktu itu, tidak banyak manusia yang tersisa. Apa yang ada di masa depan sudah tidak terlalu menganggu pikiranku lagi, apa yang sudah terjadi hanya muncul sebagai kenangan sekaligus pembelajaran. Sejak ceruk itu tercipta, aku ingin selalu menjalani apa yang kini sedang kulakukan, kualami, kurasakan, secara penuh dan utuh.

Hal ini mungkin terdengar dan terkesan mudah dilakukan, seperti mengucap syukur dan ikhlas. Sayangnya, syukur dan perasaan ikhlas itu datang dari hati, lubuk dan relung perasaan yang dalam bukan sekedar ucapan. Esok mungkin aku akan menciptakan ceruk lagi, akan bimbang dengan konsep waktu lagi, akan kehilangan diri dan beberapa orang lagi. Namun bukankah memang begitulah manusia? Selalu belajar dan terus berkembang dengan cara menciptakan kesalahan dan pengulangan?

--

--

Vatqi Nur Rohman

Merdeka menulis, menyampaikan isi kepala dan jiwa. rajin menulis di instgram @lakurip serta semua karya dan kontak bisa ditemukan di linktr.ee/vatqi