Dayn

Ramadan : membayar hutang semalam dengan dompet usang dan buku yang belum tamat.

Vatqi Nur Rohman
5 min readMar 17, 2024
Interieur van de boekhandel van James Cawthorn te Londen anno 1815 (c. 1950–1983) by anonymous, James Cawthorn and Walter Schatzki | Original public domain image from The Rijksmuseum

Semalam aku terlambat menulis. Mungkin daripada terlambat menulis lebih tepat kalau dikatakan terlambat mengumpulkan niat dan mendapatkan ide. Walau sebenarnya ide memang bisa diambil dari apa saja. Namun niat menulis dan menjabarkan ide menjadi sebuah tulisan yang utuh, itu lain cerita.

Menulis memang banyak sekali resepnya, berbagai cara bisa dilakukan, asalkan tetap dalam pakem etika. Meskipun aku juga tidak begitu tau apa pakem etika dalam menulis itu, barangkali hanya sebatas tidak menjiplak suatu tulisan, menyinggung SARA, atau ya mengabarkan kebohongan.

Hari ini demi membayar hutang tulisan semalam aku akan menulis dua judul tulisan yang entah apa, namun jelasnya tulisan yang sedang kalian baca ini adalah tulisan pertama demi membayar hutang kemarin. Tak ada ide yang jelas sebenarnya dalam tulisan ini. Aku hanya ingin menguji diriku dengan menuliskan beberapa hal yang sekarang ini ada di depan mataku. Dompet usang dan buku 1Q84 karya Murakami.

Saat masih kecil dulu aku berpikir bahwa salah satu ciri-ciri orang sudah menjadi dewasa adalah memiliki dompetnya sendiri. Aku melihat bapak, om, pakde, semuanya memiliki dompetnya sendiri-sendiri. Lalu aku kecil selalu ingin mempunyai dompet entah dengan cara apa, bagaimana bentuknya, dan tidak peduli isinya.

Dompet pertama kuperoleh saat masih duduk di kelas 4 sekolah dasar. Sejak saat itu aku sudah menasbihkan diri bahwa aku sudah besar, aku sudah bisa dianggap dewasa, aku bebas melakukan apa saja dan pergi kemana saja. Dompet itu berwarna merah dengan dua kompartemen utama. Satu terbuka, satunya memiliki resleting. Di depannya ia ada satu kompartemen dengan penutup plastik, lalu beberapa kompatermen untuk menaruh kartu atau menyelipkan uang.

Sebagai anak kecil yang baru bisa mendapatkan uang saat berpamitan berangkat sekolah maka isi dari dompetku tidak akan lebih dari duapuluh ribu. Kala itu uang lima ratus rupiah saja sudah bisa makan lumayan kenyang. Uang saku hanya dua ribu rupiah per hari. Dan aku tipikal siswa yang jarang jajan, kecuali memang benar-benar ingin. Sehingga dalam satu minggu terkadang di dalam dompetku akan terisi uang sebesar sepuluh ribu.

Namun sepuluh ribu itu akan ludes dan habis di hari minggu. Tabungan yang tak seberapa itu akan habis kugunakan untuk menyewa PS lalu jajan Pop Ice dan makaroni. Hari minggu adalah hari foya-foya, hingga terkadang dompet itu kembali kosong tak berisi.

Sampai hari ini, aku baru berganti dompet sebanyak tiga kali. Alasannya sepele saja, dompetku tak pernah keluar lama-lama dari dalam tas. Aku juga tidak begitu nyaman menyimpannya di saku celana bagian belakang seperti kebanyakan orang. Aneh saja jika ada yang mengganjal di pantatku yang tipis.

Dompet ketigaku kini sudah mulai lapuk. Kompartemen tengah yang berlapiskan mika plastik sudah mulai robek, foto bapak dan ibu yang kusimpan di sana mungkin mulai tidak betah. Sayangnya, aku masih belum ada niatan untuk membeli dompet baru.

Toh, selama ini aku juga tak pernah membeli dompet. Dompet pertama adalah hadiah dari mas sepupuku. Dompet kedua dan ketiga adalah milik bapak yang sudah tak terpakai. Kini, dompet ini sudah tidak lagi menjadi rumah bagi berpuluh-puluh lembar uang kertas seperti lima tahun yang lalu.

Dompet di zaman sekarang sudah tergantikan dengan smartphone yang selalu dibawa ke mana-mana. Sejak tujuh tahun lalu aku justru lebih kebingungan saat tidak membawa smartphone daripada dompet. Sebab dengan smartphone aku bisa meminta tolong sesiapapun yang dekat dengan dompetku untuk mengirimkan kepadaku, atau paling tidak ya hanya sebatas memastikan bahwa ia tidak hilang atau jatuh di jalan.

Perihal jatuh di jalan, dompet ini pernah sekali waktu tiba-tiba melompat keluar dari saku belakang setelah pulang futsal malam hari. Aku sudah berpasrah sebab malam hari adalah saat terlemah mataku yang sudah ditunggangi kacamata sejak lima tahun lalu. Untunglah nasib baik masih menghampiriku, dompet kumal tak berisi lebih dari dua ratus ribu dengan KTP, ATM, SIM dan STNK itu kembali pulang di antarkan manusia baik tengah malam.

Kini, mungkin aku kembali mundur ke tujuh tahun sebelum aku mengenal smartphone. Aku sudah tidak begitu peduli dengan smartphone yang tidak terbawa, lebih peduli dompet dan isinya. Walau sekali lagi, isinya tidak pernah ramai dan riuh. Asalkan ada kartu identitas, ATM dan STNK yang mengendon di dalamnya kurasa sudah cukup.

Bulan puasa ini sudah berjalan hampir satu minggu dan aku belum berhasil menyelesaikan jilid terakhir dari 1Q84 karya Murakami. Ini adalah judul pertama dari Murakami yang masuk ke dalam memori ingatanku. Dalam terjemahan 1Q84 dibagi menjadi 3 bagian. Jilid pertama kuselesaikan 5 tahun lalu, kemudian jilid kedua 4 tahun lalu. Kemudian tiga tahun setelah jilid kedua kuselesaikan aku kesulitan menemukan jilid ketiga judul ini.

Aku hampir tidak pernah absen untuk mengunjungi toko buku di kotaku. Setidak-tidaknya dua minggu sekali aku selalu singgah dan tujuan utamaku selalu rak buku terjemahan, lalu berjongkok untuk mengintip dua baris paling bawah kumpulan buku terjemahan karya Murakami dan pengarang Jepang lainnya.

Dua tahun berburu dan tidak kunjung kutemukan, aku juga tidak bertanya pada petugas atau mencari melalui toko daring. Kupikir jika memang segera berjodoh ya berarti memang sudah selayaknya aku membeli dan meminangnya. Jika belum ya, berarti aku bisa membeli buku yang lain.

Sebagai pembaca yang sebenarnya cukup malas dan mudah bosan, menamatkan satu judul tidak harus terburu-buru. Aku terbiasa membaca dua sampai tiga judul dalam sekali waktu. Karya Murakami memang menarik, diterjemahkan dengan cukup baik oleh Ribeka Ota terbitan KPG. Namun aku juga amat tertarik dengan karya sastra yang lain.

Lalu satu tahun yang lalu seperti ada yang memanggil ku untuk kembali mengunjungi toko buku walau sehari sebelumnya sudah kukunjungi dan benar saja. 1Q84 jilid 3 sudah menangkring dan hanya tersedia dua eksemplar, itupun terletak cukup dalam dibalik jilid-jilid sebelumnya.

Aku pulang dengan keadaan senang, perasaanku baik dan antusiasmeku kepalang tinggi. Namun, dua tahun sudah berlalu semenjak jilid kedua kuhabiskan. Aku samar-samar mengingat-ingat tokohnya, terlebih saat muncul POV dari nama selain dua tokoh utama, Aomame dan Tengo.

Terpaksa kuurungan niatku untuk meneruskan saat itu juga. Kubuka, kuhirup aromanya, kubaca sekilas-sekilas saja, lalu kuletakkan kembali di rak buku. Seminggu sebelum bulan puasa ini berjalan aku berencana untuk menghabiskannya, sayangnya rasa malas dan mudah bosan menghantuiku. Aku lebih memilih untuk menonton anime, bermain game dan juga membaca manga, manhua, dan manhwa.

Hingga hari ini aku baru menyelesaikan separuh dari jilid ketiga. Hal ini juga dikarenakan aku harus sedikit mengulang beberapa bab terakhir di jilid kedua agar ingatanku cukup utuh untuk mengenali latar, tokoh dan kejadian seperti apa yang sudah berlalu.

Entah kapan akan kuselesaikan cerita Aomame dan Tengo yang cukup rumit dan berputar-putar ini. Mungkin minggu ini, mungkin juga sebelum hari raya, barangkali juga setelahnya, entahlah.

Dari dua tahun penantian dan pencarian jilid ketiga ini aku sadar bahwa manusia memang kebanyakan seperti itu. Selalu mengebu-ngebu saat ingin mendapatkan sesuatu, setelah diperoleh ia akan memilih jeda sejenak, menenangkan euforia yang menghampiri diri dan tubuhnya.

Detak jantung yang sebelumnya bergetar hebat saat memperoleh sesuatu yang diinginkan itu lama-lama akan berjalan biasa saja. Kesenangannya hampir mirip seperti kesenangan-kesenagan yang lain. Hidup berjalan selayaknya naik turunnya antusiasme, euforia, kesedihan, rasa penasaran, duka dan hal-hal lainnya.

--

--

Vatqi Nur Rohman

Merdeka menulis, menyampaikan isi kepala dan jiwa. rajin menulis di instgram @lakurip serta semua karya dan kontak bisa ditemukan di linktr.ee/vatqi