Iqro’
Bacalah dengan segala bentuk emosi dan kecacatan logika yang kau miliki, agar kau belajar dan terus berkembang secara perlahan tidak secara instan, sebab kau manusia bukan mesin.
Jika dua dekade lalu seseorang berkata ‘Ide itu mahal harganya’ aku akan percaya. Tapi jika hari ini orang berkata hal yang sama, maka orang tersebut bisa dipastikan lebih malas daripada pemalas sepertiku. Semenjak menantang diri untuk menulis setiap hari, aku sering kehabisan ide atau lebih tepatnya tidak bisa mengembangkan ide yang dimiliki.
Sering sekali rasanya aku berbuat curang dengan mencari ide dari AI, bahkan memintanya membuat jabaran terlebih dahulu perihal banyak ide yang ku punya. Tapi tentu saja ini bukan sebuah tindakan curang, setidaknya begitu menurutku. Cepatnya perkembangan zaman kini mampu membuat sebuah mesin gunu menjabarkan ide-ide yang dimiliki manusia, kecepatannya dan ketepatannya tentu lebih jeli daripada otak manusia.
Bahkan siapapun kini tak perlu bersusah payah untuk membaca jurnal, buku ataupun berselancar ria di jejaring informasi Google. Cukup menuliskan beberapa kata kunci dibilik AI, mereka akan mengerjakan dengan ketepatan yang tinggi, sumber yang berlimpah hingga informasi yang cukup akurat — meskipun sesekali tidak dapat dipercaya juga.
Semudah itulah informasi kini didapatkan. Namun tentu ini jadi bahaya tersendiri, karena beberapa teman kini tak mau lagi mencari sesuatu secara manual, tak lagi merasa butuh membaca jurnal ataupun buku. Sebenarnya hal ini sudah terjadi dekade lalu, namun semenjak kemunculan AI kini semuanya lebih terasa parah.
Seorang kawan benar-benar merasa bahwa cukup menuliskan beberapa kata di ChatGPT maka ia sudah merasa menguasai sesuatu, sudah membaca satu buku, sudah berselancar sangat lama dan tahu akan banyak hal. Sebenarnya ini tidak bisa dikatakan salah pula, karena di zaman yang serba cepat ini, sebisa mungkin orang-orang akan mencari hal-hal yang instan pula. Aku tak boleh munafik, hal itu juga sering ku lakukan dibeberapa kesempatan dan jujur saja, aku mencintai itu.
Sayangnya saat sudah disangkutkan dengan sebuah literasi, aku terpaksa menolaknya mentah-mentah. AI memang bisa dengan mudah menyingkat waktu untuk membaca tapi ia tidak bisa menjadi bencana karena kemalasan orang-orang akan semakin menggunung untuk membaca. Orang-orang berpikir dengan membaca sebuah kesimpulan dari buku sudah cukup puas dan merasa sudah menamatkan satu buku penuh dan perasaan jumawa inilah yang berbahaya, perasaan merasa cukup akan sebuah keinstanan tentu menjadi candu yang mampu merusak hidup.
Bukankah sudah dibuktikan dengan banyak penelitian tentang bahayanya junk food, makanan cepat saja yang semakin digemari menimbulkan banyak masalah kesehatan. Hal ini sama dengan perasaan cukup dan jumawa karena mengatahui pesan yang tersirat maupun tersurat dari buku ataupun jurnal.
Membaca sesuatu yang serba instan ini akan mematikan keingintahuan yang berlimpah, bahkan yang paling parah adalah tidak ditemukan sebuah potensi yang bisa jadi lebih berharga daripada hanya membaca simpulan saja. Kini aku tahu kenapa masih banyak saja penjual buku-buku lama bertahan di pasar-pasar buku, jurnal-jurnal yang sudah usang, kertas yang menguning tapi tulisan masih tetap terjaga agar jika beruntung jurnal atau buku itu akan dibeli seseorang, mereka tidak kecewa.
Sering sekali ku temui dosen-dosen tua yang masih mencari-cari buku ataupun jurnal fisik baik di perpustakaan umum milih pemda ataupun di pasar buku bahkan pasar loak. Karena esensi membaca buku secara fisik dengan digital tentu berbeda dan kita bisa berbeda sudut pandang tentang ini.
Bagiku, membaca dalam bentuk fisik kertas tentu lebih nyaman, lebih bisa bertahan lama. Bahkan jurnal yang ingin ku baca secara mendalam pun harus ku cetak, jika tidak sudah tentu hanya akan ku baca simpulan dan pengantarnya saja.
Beberapa saat lalu aku juga sedang keranjingan mendengarkan audio book, tentu saja ilmunya sudah terserap, simpulan dan penjelasan kecil yang mudah dicerna juga mampu ditelan secara lancar, tapi aku kehilangan minat sebab merasa bosan. Mendengarkan seseorang bercerita tentang apa yang ia dapatkan saat membaca buku tersebut atau ringkasan buku tersebut bahkan jika buku tersebut memang sudah diterbitkan menjadi audio book secara penuh dan lengkap, aku tidak nyaman saja.
Seperti ada sesuatu yang kurang, seperti masakan yang kurang garam atau sambal terasi yang terlalu banyak tomatnya sehingga rasa asin amis dari terasi menguap. Membaca bagi diri yang kuno ini adalah proses menarik mata dari pojok kiri atas hingga sudut kanan bawah, sementara audio book hanya cukup menyiapkan telinga dan konsentrasi yang tinggi. Bagiku itu tidak menarik, menjemukkan dan membuat kantuk cepat datang. Tentu kau boleh berbeda pandangan soal ini dan tentu itu juga kebenaran yang berlaku baik untukmu.
Saat membaca buku atau jurnal secara fisik, emosi yang dimiliki akan mengikuti alur tulisan, akan diketahui bagaimana alur seorang penulis bertutur, gaya tulisan yang dipakainya, kosa kata yang menjadi ciri khasnya serta diksi-diksi yang digunakannya. Semua itu tak akan ditemui di ChatGPT.
AI memang memudahkan dan mempersingkat pekerjaan kita. Mempermudah dalam menemukan sumber literasi dan mempersingkat waktu baca sebuah buku atau jurlan. Bahkan membaca secara digital ku rasa lebih baik daripada ketergantungan pada AI. Karena saat AI bekerja ia tidak menggunakan emosinya, mereka tak memiliki perasaan, pikiran yang terlampu logis dan kaku juga sesuatu yang buruk bagi perkembangan kemampuan kritis otak.
Dan saat semua serba instan, cepat, dan pendek kita akan kehilangan banyak detail yang diperlukan. Kita mungkin akan menemukan ChatGPT menerjemahkan Bumi Manusia milik Pram sebagai buku yang fenomenal, buku yang menceritakan soal keadaal sosial politik masa Hindia Belanda, menerangkan Minke sebagai tokoh utama dan Annelis sebagai gadis yang membuatnya jatuh cinta. Tapi ChatGPT tidak akan memperkenalkan siapa Nyai Ontosoroh, bagaimana sikap dan wataknya, bagaimana perasaanmu saat mendengar Nyai memanggil Minke dengan Sinyo. Atau bayangan akan sangar dan tangguhnya Darsam.
Kecepatan teknologi tetap tak bisa menggantikan emosi, perasaan dan logika kita yang cacat, gerowong, alpa dan kopong saat membaca. Sebab itulah dari dulu Tuhan menciptakan kita dengan ketidaksempurnaan. Sebab itu pulalah manusia bisa berkembang dan menciptakan segala bentuk teknologi yang memudahkan manusia masa depan. Sebab itu pula, membacalah. Jangan hanya mendengar, melihat atau bahkan mencari simpulan, ringkasan atau bahkan makna yang tersirat dari AI, video tiktok, youtube atau mungkin audiobook.