Naghma

James Blunt, musik dan memori yang menyertainya.

Vatqi Nur Rohman
3 min readMar 18, 2024
Album Cover All The Lost Soul from Apple Music

Kenangan itu bisa muncul dari mana saja, dari sekelebat aroma yang terendus, dari petikan melodi atau penggalan lirik yang tertangkap, dari deretan benda-benda, ruko-ruko atau bahkan warna. Aku pun begitu. Beberapa lagu selalu mengingatkanku sebuah suasana. Beberapa aroma menarikku kembali pada sebuah masa. Dan jalanan terkadang menjadi bukti bisu dari banyaknya cerita yang terlewat.

Bagiku, album All The Lost Souls dari James Blunt selalu membawaku pada ingatan menyenangkan dari pengalaman hidup satu tahun di Jakarta sembilan tahun lalu. Simona, you’re getting older, your journey’s been etched on your skin. Lalu alunan melodi dari lagu berjudul 1973 itu membawaku pada sebuah meja coklat kokoh dari kayu dengan dua laci di sebelah kanan. Lengkap dengan kursi berwarna biru yang kupilih sendiri. Di sebelah jendela besar yang hanya menampakkan tembok putih bersih dan sinar matahari yang samar-samar merasuk.

Aku masih bisa merasakan dinginnya lantai marmer yang menjadi alasku tidur, menyesapi aroma apel dari sabun pel yang baru saja kuusapkan sebelum memutar album tersebut. Samar-samar masih kujaga ingatan tentang angin yang berhembus dari pintu di samping jendela besar persis sebelah meja kerjaku. Tumpukan buku, tempat pensil, jadwal piket, sticky notes, atau bahkan penyuar telinga yang mengantung di atas laptop yang kubeli dengan harga kerinduan tidak pulang ke kampung halaman saat lebaran.

Barangkali jikalau akhir-akhir ini kebanyakan orang selalu berkata bahwa masa muda mereka dipenuhi dengan alunan suara Taylor Swift, aku juga sama, hanya bedanya aku diisi dengan James Blunt. Ah, aku lupa ada satu musisi juga yang akan membawaku pada memori yang sama. Secondhand Serenade. Lagu-lagu patah hati dari John Vesely justru kudengarkan saat hatiku sedang berbunga-bunga. Saat patah hati lima tahun lalu aku justru lupa bahwa lagu-lagu tersebut sangat amat dekat denganku.

Anehnya, saat aku mendengarkan lagu-lagu itu bukan perasaan patah hati yang menghantui. Justru perasaan senang, hangat dan nyaman. Perasaan ingin mengulang dan pergi ke Jakarta sekali lagi. Mencari Mang Hadi tukang ketoprak langananku. Mengunjungi Warteg si Eneng dengan rekan-rekan kantor. Ngobrol soal pahitnya hidup di Jakarta dan tidak bisa pulang ke kampung halaman dengan Pak Soleh penjual nasi goreng asal Tegal. Atau bercengkrama sekaligus lalu mencari diskonan dari Mas Slamet penjaga toko parfum isi ulang dari Semarang itu.

Lagu-lagu dari James Blunt masih sering kudengarkan saat hujan karena aku ingin memungut kembali suasana menyenangkan dari ruang kerja rumah kontrakan di daerah Duri Kepa itu. Secondhand Serenade hanya sesekali kudendangkan saat aku sedikit jenuh dengan lagu-lagu Sheila.

Harus jujur, aku ini termasuk tipikal manusia yang mendengarkan nada atau lagu hanya karena ingin mengisi telinga saja. Jarang sekali kucari arti dari lirik-lirik di dalamnya, makna atau bahkan asal muasal kenapa sebuah alunan musik dan lirik itu bisa sangat apik menghiasi ruang memoriku. Kubiarkan alunan nada itu mengalir bak hujan yang turun dari langit.

Meski begitu musik adalah satu hal yang tak akan bosan-bosan kuputar berulang-ulang. Entah hanya sebatas meramaikan suasana, mengisi gendang telinga, meramaikan suasana, mencari kesenangan dari hentakan jantung yang mengajak berdansa, atau bahkan menyalurkan perasaan. Biarlah musik memilin ingatan-ingatan dari setiap hal yang kulakukan sepanjang hidupku.

Dan walaupun aku tidak begitu mengerti musik, arti lagi secara tersirat, akhir-akhir ini aku justru sedang keranjingan menyusun daftar putar. Entah untuk menemaniku berjalan, menyampaikan perasaan, menguatkan keinginan untuk tetap hidup atau sekedar iseng saja.

--

--

Vatqi Nur Rohman

Merdeka menulis, menyampaikan isi kepala dan jiwa. rajin menulis di instgram @lakurip serta semua karya dan kontak bisa ditemukan di linktr.ee/vatqi