Sabab

Ramadan : Ngalor-ngidul pendidikan.

Vatqi Nur Rohman
4 min readMar 14, 2024
Playing Children, Meadow Square (1907–1908) by Peter Hansen. Original public domain image from State Museum of Art. Digitally enhanced by rawpixel. Original public domain image from Statens Museum for Kunst

Sebagai seseorang yang tumbuh dan lahir dari pelosok desa yang akhirnya berkembang dan bermutasi di kota, tentu agak rikuh dan heran dengan keadaan desa akhir-akhir ini. Dulu desa adalah tempat yang tenang dan menyenangkan, beban hidup hanya berisi keluhan kapan hujan atau kapan ia berhenti. Perhitungan waktu hanya ini sudah waktunya panen atau besok mulai menanam.

Perkembangan zaman yang begitu pesat menjadikan segalanya berubah. Desa sudah mulai memasuki masa transisi. Ketenangan kini berbias dengan keinginan untuk terkenal dengan ringkas, cepat dan mudah. Melalui jalur viral oleh sebab hal-hal aneh dan juga mengesalkan. Beberapa hari lalu aku menyaksikan orang-orang yang mempertanyakan kenapa tabung gas LPG 3Kg saat dikeluarkan malah memuncratkan air bukan udara. Akhir video tersebut berujung nahas karena menimbulkan kebakaran. Belum lagi dengan kasus mandi lumpur yang kalau pikiranku tak berkhianat viral satu setengah tahun lalu.

Masyarakat desa juga mulai ikut-ikutan warga kota yang mengadu nasib dengan berjudi, slot. Diiringi dengan remaja-remaja yang ikut-ikutan konten viral memberikan hadiah pada pasangan hingga ada kasus menjual genting rumah untuk membeli hadiah sang pacar. Pemuda-pemudi juga mendapat sindiran keras karena tantrum sebab keinginannya tidak dipenuhi oleh orang tua.

Sebagai seseorang yang lahir dan tumbuh sebagai anak dari keluarga yang biasa-biasa saja, pernah merasakan mudahnya meminta apa saja kepada orang tua saat Simbok masih ada, hingga harus mengadu nasib berdua dengan Bapak di kota pada awal masuk sekolah dasar, cukup heran dengan tumbuh kembang generasi berikutnya di desa. Barangkali karena akses informasi menuju desa kini sudah tidak ada tedeng aling-aling, sehingga apapun bisa sampai lebih cepat. Namun pertanyaan selanjutnya perlu dijawab dengan cukup menguras pikiran. Apakah warga desa sudah siap dengan perubahan itu? Apakah mereka sudah mampu mengolah informasi yang sedemikian cepat dan mengolahnya dengan cukup baik?

Menurutku, tidak, atau lebih tepatnya belum. Akses pendidikan dan kemampuan dasar guru menjelaskan memiliki andil yang cukup besar untuk ini. Bagi masyarakat desa, pendidikan hanya seperti ibadah bagi kita saat ini, sebatas gugur kewajiban. Pada generasi ibu dan bapakku, lulus sekolah dasar saja sudah suatu prestasi. Satu generasi sebelum aku lahir, menjejakkan kaki di sekolah menengah pertama adalah sebuah kemewahan. Di genarasiku, sekolah sampai SMEA/SMK saja cukup layak dikatakan gila bangku sekolah.

Aku menjadi generasi pertama di keluarga besarku yang berhasil menyelesaikan pendidikan hingga sarjana, dan kemudian adikku adalah yang kedua. Aku punya Mas Sepupu yang seumuran dengan adik ibu yang paling bungsu, satunya menyelesaikan SMK satu lagi memilih putus ditengah jalan. Ibu dan bapak sendiri hanya lulus sekolah dasar, itupun hanya ibu yang masih menyimpan ijazahnya. Akte dan ijazah milik bapak, entah ada di mana.

Lalu saat keluargaku memutuskan untuk sepenuhnya keluar dari lingkup desa demi mencari kesejaterahan hidup, pendidikan yang lebih layak dan akses terhadap apapun yang lebih baik, kami seolah tercerabut dari akar rumput. Obrolan kami dengan orang-orang tersebut cukup jauh berbeda, kemampuan berpikir, bernalar bahkan berbicara sangat jauh berbeda.

Bagi kami yang sudah terbiasa dengan struktur tata cara sebuah pemerintahan yang lebih baik, tentu kami tau runutan sebuah pemerintahan, dari yang terkecil hingga yang terbesar. Sementara di desa, kami mengabaikan RT, RW, bahkan seorang Carik (Sekdes) bisa lebih populer dan dihormati daripada Polo atau Kades. Lurah adalah jabatan seumur hidup yang dipilih secara paksa dan yang tertunjuk harus menerimanya dengan sukarela.

Tapi apakah itu buruk? Tentu tidak. Kami masih bisa menemukan kehangatan yang sangat wajib disyukuri. Sebab beberapa titik di lingkup kota, kehangatan itu perlahan memudar. Kami masih bisa menemukan keluguan dan kepolosan yang ketara nyata dan itu yang membuat para warga lebih mudah disatukan daripada perpecahan pikiran di kota.

Tahun berlalu, zaman berkembang, kebiasaan berubah. Penduduk desa mulai ikut-ikutan seperti bapak dan ibu, mulai pindah ke kota. Sayangnya, kepindahan ini hanya diniatkan untuk mencari rupiah, pendidikan lagi-lagi menjadi nomer kesekian. Tujuan utama mereka adalah pulang dengan membawa kendaraan baru mewah, rumah dibangun megah, sekali lagi soal pendidikan itu nomor sekian.

Teknologi semakin maju dan mereka membawanya pulang. Arus informasi yang sangat deras tak bisa dibendung hanya dengan pendidikan setingkat sekolah dasar atau menengah pertama, tanggul untuk mempertahankan kewarasan dan logika jebol. Segala hal jadi harus serba cepat, tepat atau tidak belakangan.

Kini aku tidak lagi merasakan perbedaan antara desa tempatku lahir dan kota tempatku tumbuh. Hampir mirip, hanya saja, sekali lagi, latar belakang pendidikan dan kemampuan serta kemauan orang untuk terus mencari ilmu berbeda jauh. Sebagian masyarakat kota sudah mampu untuk memproses informasi yang hadir, sementara bagi masyarakat desa, kebanyakan akan menelan mentah-mentah apa yang ada di depan mata mereka.

Peradaban sisa rezim Orba masih ketara di sana. Siapapun yang mereka kenal, memiliki nama yang cukup mentereng, dikenal cukup baik, lalu berbicara apa saja, entah itu berita bohong, kabar buruk, ramalan yang paling aneh sekalipun mereka akan terima mentah-mentah. Masyarakat desa banyak yang belajar dari internet tanpa memperhatikan siapa yang menyampaikan dan apa kapabilitasnya.

Sayangnya kebiasaan masyarakat desa itu akhir-akhir ini mulai merambah pada remaja kota. Remaja kota yang harusnya didasari pada pemikirkan logis yang cukup baik, pola pikir yang lebih matang kini mulai ikut-ikutan mengkultuskan sesosok manusia. Seakan dibuat buta dan logika mereka terkunci sehingga tidak mau mendengar siapa saja yang berbicara, membicarakan apa dan yang lebih parah tak mau mencari tahu lebih jauh.

Asalkan ramai, banyak dibicarakan orang, banyak orang yang membenarkan, terlebih lagi jika salah satu idola mereka membicarakan dan menyebarkan hal itu. Secara sadar atau tidak mereka akan menjadi buta dan menganggap itu adalah sesuatu yang benar dan tak bisa diperdebatkan. Jikalau ada yang berbeda pendapat maka ia salah.

Ini sebenarnya sama saja dengan cuci otak dalam kisah-kisah teroris. Hanya saja caranya lebih halus, dampaknya pelan namun pasti. Aku menyayangkan ini, pendidikan yang mulai dibangun kini runtuh dengan mode ‘jika tidak viral tidak patut dipertanyakan, ditonton, dikaji ulang.’

Semua orang berlomba-lomba menjadi pemalas yang hanya mau dengar dari satu sisi, mengkultusan idola dan menabikan tokoh. Pendidikan hanya digunakan untuk mengejar gelar. Pendidik yang kompeten juga mulai pergi sebab upah yang tak layak. Sekolah-sekolah hanya sebuah tempat membunuh waktu, bukan lagi tempat menumbuhkan ilmu.

--

--

Vatqi Nur Rohman

Merdeka menulis, menyampaikan isi kepala dan jiwa. rajin menulis di instgram @lakurip serta semua karya dan kontak bisa ditemukan di linktr.ee/vatqi